Indonesia tengah memasuki bonus demografi, di mana mayoritas penduduk berada dalam usia produktif.
Ini adalah peluang besar, tetapi juga tantangan serius. Tanpa kemampuan literasi yang kuat, generasi muda hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan pencipta inovasi.
Negara seperti Finlandia dan Jepang menjadi contoh sukses membangun budaya literasi sejak usia dini.
Mereka menjadikan membaca sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya kewajiban di sekolah. Indonesia pun dapat meniru langkah ini dengan adaptasi kontekstual.
Lantas seperti apa langkah-langkah yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda?
Generasi muda Indonesia, terutama GenZ sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi agen literasi. Dengan akses ke teknologi dan kreativitas tinggi.
Jika digunakan dengan benar, maka media sosial dapat menjadi sarana dengan peluang besar untuk mencapai lebih banyak orang.
Para generasi muda bisa mencoba cara-cara berikut, seperti;
Di sisi lain, komunitas literasi seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Bookslovers Indonesia, hingga Taman Baca Masyarakat (TBM), juga turut aktif menyebarkan virus membaca kepada masyarakat dengan pendekatan kreatif.
Mereka menyelenggarakan bedah buku, diskusi daring, hingga klub baca berbasis media sosial untuk menjangkau anak muda di berbagai pelosok negeri.
Hari Buku Nasional menjadi momen penting untuk merefleksikan posisi literasi di tengah derasnya arus digitalisasi.
Meningkatkan literasi di kalangan generasi muda bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab bersama keluarga, pendidik, komunitas, dan media.
Di era yang penuh informasi seperti sekarang, kemampuan membaca secara kritis adalah benteng utama untuk bertahan.
Budaya membaca bukan hanya soal membuka halaman buku, tetapi membuka wawasan, memperkuat karakter, dan membangun masa depan bangsa. (*)
Indonesia tengah memasuki bonus demografi, di mana mayoritas penduduk berada dalam usia produktif.
Ini adalah peluang besar, tetapi juga tantangan serius. Tanpa kemampuan literasi yang kuat, generasi muda hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan pencipta inovasi.
Negara seperti Finlandia dan Jepang menjadi contoh sukses membangun budaya literasi sejak usia dini.
Mereka menjadikan membaca sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya kewajiban di sekolah. Indonesia pun dapat meniru langkah ini dengan adaptasi kontekstual.
Lantas seperti apa langkah-langkah yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda?
Generasi muda Indonesia, terutama GenZ sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi agen literasi. Dengan akses ke teknologi dan kreativitas tinggi.
Jika digunakan dengan benar, maka media sosial dapat menjadi sarana dengan peluang besar untuk mencapai lebih banyak orang.
Para generasi muda bisa mencoba cara-cara berikut, seperti;
Di sisi lain, komunitas literasi seperti Forum Lingkar Pena (FLP), Bookslovers Indonesia, hingga Taman Baca Masyarakat (TBM), juga turut aktif menyebarkan virus membaca kepada masyarakat dengan pendekatan kreatif.
Mereka menyelenggarakan bedah buku, diskusi daring, hingga klub baca berbasis media sosial untuk menjangkau anak muda di berbagai pelosok negeri.
Hari Buku Nasional menjadi momen penting untuk merefleksikan posisi literasi di tengah derasnya arus digitalisasi.
Meningkatkan literasi di kalangan generasi muda bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab bersama keluarga, pendidik, komunitas, dan media.
Di era yang penuh informasi seperti sekarang, kemampuan membaca secara kritis adalah benteng utama untuk bertahan.
Budaya membaca bukan hanya soal membuka halaman buku, tetapi membuka wawasan, memperkuat karakter, dan membangun masa depan bangsa. (*)