DB NEWS - Asia kembali dikejutkan oleh lonjakan kasus COVID-19 yang memicu kekhawatiran akan potensi gelombang baru. Negara-negara seperti Singapura, Thailand, hingga Hong Kong kini mencatat peningkatan tajam dalam waktu singkat.
Di tengah kecemasan regional ini, Indonesia mengambil sikap—tapi apakah cukup untuk mencegah bencana kesehatan berikutnya?
Meningkatnya jumlah kasus di beberapa negara membuat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengambil langkah preventif dengan menerbitkan Surat Edaran.
SE baru ini berisi himbauan kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di tanah air.
Langkah ini merupakan bentuk respons cepat pemerintah terhadap potensi lonjakan kasus utamanya yang dipicu oleh varian baru yang kini dominan di berbagai wilayah Asia.
(BACA JUGA: Situs PeduliLindungi Diretas, Begini Tanggapan Kemenkes & Pakar Keamanan Siber!)
Sejak awal Mei 2025, sejumlah negara Asia kembali mencatat peningkatan kasus COVID-19 secara signifikan.
Negara seperti Singapura, Hongkong, dan India mencatat lonjakan infeksi virus ini yang cukup mencolok.
Lonjakan yang terjadi di Thailand bukan sekadar statistik. Lebih dari 16.000 kasus baru dalam sepekan menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan.
Apalagi, varian yang mendominasi kali ini punya nama-nama yang tak familiar, tapi efeknya nyata—penularan cepat meski belum terlihat mematikan.
Di Singapura, jumlah kasus melonjak menjadi 14.200 pada periode 27 April hingga 3 Mei, meningkat signifikan dari 11.100 kasus di pekan sebelumnya.
(BACA JUGA: Fakta Sebenarnya di Balik Aksi Brigitte Macron Tepis Wajah Presiden Prancis Saat Mendarat di Vietnam)
Sementara itu, Malaysia melaporkan total 11.727 kasus sejak awal 2025 hingga 10 Mei.
Bahkan Malaysia sempat mengeluarkan peringatan waspada nasional pada pertengahan bulan tersebut.
Lonjakan tertinggi terjadi di awal tahun, namun kasus cenderung melandai dan stabil dalam beberapa minggu terakhir.
Di Hong Kong, tingkat positif COVID-19 mengalami kenaikan signifikan, dari sebelumnya 6,21 % menjadi 13,66 % hanya dalam waktu satu bulan.
Sedangkan di India, dua kematian akibat COVID-19 dilaporkan di Mumbai pekan lalu. Kedua pasien memiliki kondisi kesehatan penyerta atau komorbid.
(BACA JUGA: Kemarau Basah 2025: Ancaman Tersembunyi di Balik Curah Hujan Tinggi)
Berdasarkan laporan Times of India yang dirilis Rabu (21/5), peningkatan kasus ini disinyalir dipicu oleh varian baru yang memiliki tingkat penularan lebih tinggi.
Laporan dari Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami, menyebutkan bahwa varian dominan di kawasan Asia saat ini bukan lagi Delta atau Omicron murni, melainkan turunannya.
“Varian COVID-19 dominan yang menyebar di Thailand adalah XEC dan JN.1, di Singapura LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1), di Hongkong JN.1,” ungkap Plt. Dirjen Murti.
“Dan di Malaysia adalah XEC (turunan JN.1). Meski demikian transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah,” tambahnya.
Untuk memahami dinamika varian baru ini, penting menilik kembali sejarah dua varian besar yang membentuk perjalanan pandemi COVID-19 di sektor global.
(BACA JUGA: Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya)
Sebelumnya, varian Delta pertama kali terdeteksi di India pada akhir 2020 dan langsung menyebabkan gelombang infeksi besar pada 2021.
Tingkat penularannya yang tinggi serta rendahnya cakupan vaksinasi kala itu menyebabkan lonjakan kematian dan krisis kesehatan di berbagai negara.
Sementara itu, varian Omicron yang teridentifikasi di Afrika Selatan dan Botswana pada November 2021 membawa karakteristik yang berbeda.
Meskipun lebih mudah menular, Omicron cenderung menyebabkan gejala yang lebih ringan dibandingkan Delta.
Penelitian dari Jepang dan Prancis bahkan menunjukkan bahwa tingkat penularan Omicron bisa 4 hingga 5 kali lebih tinggi dibandingkan Delta, namun resikonya terhadap rawat inap, masuk ICU, dan kematian jauh lebih rendah.
(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)
Penelitian dari CDC di Amerika Serikat menggunakan data dari 69.279 pasien dan menemukan bahwa infeksi Omicron mengurangi resiko rawat inap hingga 53%.
Varian ini juga menurunkan kemungkinan masuk ICU sebesar 74%, serta menurunkan resiko kematian sebesar 91% dibanding Delta.
SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, terus mengalami mutasi seiring waktu.
Omicron sendiri memiliki 43 mutasi pada spike protein-nya, jauh lebih banyak dibanding Delta yang hanya memiliki 18.
Namun, banyaknya mutasi bukan berarti varian tersebut lebih mematikan. Sebaliknya, itu menandakan adaptasi virus terhadap inang manusianya.
(BACA JUGA: Terungkap! Bos CV Sentosa Seal Sembunyikan 108 Ijazah Karyawan di Rumahnya)
Para ahli meyakini bahwa evolusi ini adalah respons virus terhadap kekebalan tubuh manusia, baik yang dihasilkan dari vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
WHO mengungkap varian JN.1 dari keluarga besar Omicron, merupakan variant of interest karena kemampuannya menular dengan cepat.
Maka tidak mengherankan jika varian-varian baru seperti JN.1, NB.1.8, dan XEC kini mulai mengambil alih dominasi varian lama di berbagai negara Asia.
“Namun, tidak semua negara mengalami nasib serupa. Di tengah badai kasus baru di Asia, Indonesia justru menunjukkan tren yang berbeda—meski bukan berarti tanpa ancaman.
Bagaimana situasi Indonesia di tengah lonjakan kasus COVID-19 ini? Apa tanggapan pemerintah terkait hal ini? Simak di halaman berikutnya!
DB NEWS - Asia kembali dikejutkan oleh lonjakan kasus COVID-19 yang memicu kekhawatiran akan potensi gelombang baru. Negara-negara seperti Singapura, Thailand, hingga Hong Kong kini mencatat peningkatan tajam dalam waktu singkat.
Di tengah kecemasan regional ini, Indonesia mengambil sikap—tapi apakah cukup untuk mencegah bencana kesehatan berikutnya?
Meningkatnya jumlah kasus di beberapa negara membuat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengambil langkah preventif dengan menerbitkan Surat Edaran.
SE baru ini berisi himbauan kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di tanah air.
Langkah ini merupakan bentuk respons cepat pemerintah terhadap potensi lonjakan kasus utamanya yang dipicu oleh varian baru yang kini dominan di berbagai wilayah Asia.
(BACA JUGA: Situs PeduliLindungi Diretas, Begini Tanggapan Kemenkes & Pakar Keamanan Siber!)
Sejak awal Mei 2025, sejumlah negara Asia kembali mencatat peningkatan kasus COVID-19 secara signifikan.
Negara seperti Singapura, Hongkong, dan India mencatat lonjakan infeksi virus ini yang cukup mencolok.
Lonjakan yang terjadi di Thailand bukan sekadar statistik. Lebih dari 16.000 kasus baru dalam sepekan menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan.
Apalagi, varian yang mendominasi kali ini punya nama-nama yang tak familiar, tapi efeknya nyata—penularan cepat meski belum terlihat mematikan.
Di Singapura, jumlah kasus melonjak menjadi 14.200 pada periode 27 April hingga 3 Mei, meningkat signifikan dari 11.100 kasus di pekan sebelumnya.
(BACA JUGA: Fakta Sebenarnya di Balik Aksi Brigitte Macron Tepis Wajah Presiden Prancis Saat Mendarat di Vietnam)
Sementara itu, Malaysia melaporkan total 11.727 kasus sejak awal 2025 hingga 10 Mei.
Bahkan Malaysia sempat mengeluarkan peringatan waspada nasional pada pertengahan bulan tersebut.
Lonjakan tertinggi terjadi di awal tahun, namun kasus cenderung melandai dan stabil dalam beberapa minggu terakhir.
Di Hong Kong, tingkat positif COVID-19 mengalami kenaikan signifikan, dari sebelumnya 6,21 % menjadi 13,66 % hanya dalam waktu satu bulan.
Sedangkan di India, dua kematian akibat COVID-19 dilaporkan di Mumbai pekan lalu. Kedua pasien memiliki kondisi kesehatan penyerta atau komorbid.
(BACA JUGA: Kemarau Basah 2025: Ancaman Tersembunyi di Balik Curah Hujan Tinggi)
Berdasarkan laporan Times of India yang dirilis Rabu (21/5), peningkatan kasus ini disinyalir dipicu oleh varian baru yang memiliki tingkat penularan lebih tinggi.
Laporan dari Plt. Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami, menyebutkan bahwa varian dominan di kawasan Asia saat ini bukan lagi Delta atau Omicron murni, melainkan turunannya.
“Varian COVID-19 dominan yang menyebar di Thailand adalah XEC dan JN.1, di Singapura LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1), di Hongkong JN.1,” ungkap Plt. Dirjen Murti.
“Dan di Malaysia adalah XEC (turunan JN.1). Meski demikian transmisi penularannya masih relatif rendah, dan angka kematiannya juga rendah,” tambahnya.
Untuk memahami dinamika varian baru ini, penting menilik kembali sejarah dua varian besar yang membentuk perjalanan pandemi COVID-19 di sektor global.
(BACA JUGA: Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya)
Sebelumnya, varian Delta pertama kali terdeteksi di India pada akhir 2020 dan langsung menyebabkan gelombang infeksi besar pada 2021.
Tingkat penularannya yang tinggi serta rendahnya cakupan vaksinasi kala itu menyebabkan lonjakan kematian dan krisis kesehatan di berbagai negara.
Sementara itu, varian Omicron yang teridentifikasi di Afrika Selatan dan Botswana pada November 2021 membawa karakteristik yang berbeda.
Meskipun lebih mudah menular, Omicron cenderung menyebabkan gejala yang lebih ringan dibandingkan Delta.
Penelitian dari Jepang dan Prancis bahkan menunjukkan bahwa tingkat penularan Omicron bisa 4 hingga 5 kali lebih tinggi dibandingkan Delta, namun resikonya terhadap rawat inap, masuk ICU, dan kematian jauh lebih rendah.
(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)
Penelitian dari CDC di Amerika Serikat menggunakan data dari 69.279 pasien dan menemukan bahwa infeksi Omicron mengurangi resiko rawat inap hingga 53%.
Varian ini juga menurunkan kemungkinan masuk ICU sebesar 74%, serta menurunkan resiko kematian sebesar 91% dibanding Delta.
SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, terus mengalami mutasi seiring waktu.
Omicron sendiri memiliki 43 mutasi pada spike protein-nya, jauh lebih banyak dibanding Delta yang hanya memiliki 18.
Namun, banyaknya mutasi bukan berarti varian tersebut lebih mematikan. Sebaliknya, itu menandakan adaptasi virus terhadap inang manusianya.
(BACA JUGA: Terungkap! Bos CV Sentosa Seal Sembunyikan 108 Ijazah Karyawan di Rumahnya)
Para ahli meyakini bahwa evolusi ini adalah respons virus terhadap kekebalan tubuh manusia, baik yang dihasilkan dari vaksinasi maupun infeksi sebelumnya.
WHO mengungkap varian JN.1 dari keluarga besar Omicron, merupakan variant of interest karena kemampuannya menular dengan cepat.
Maka tidak mengherankan jika varian-varian baru seperti JN.1, NB.1.8, dan XEC kini mulai mengambil alih dominasi varian lama di berbagai negara Asia.
“Namun, tidak semua negara mengalami nasib serupa. Di tengah badai kasus baru di Asia, Indonesia justru menunjukkan tren yang berbeda—meski bukan berarti tanpa ancaman.
Bagaimana situasi Indonesia di tengah lonjakan kasus COVID-19 ini? Apa tanggapan pemerintah terkait hal ini? Simak di halaman berikutnya!