DB NEWS - Di tengah musim kemarau yang biasanya kering dan berdebu, hujan deras justru mengguyur banyak wilayah Indonesia. Bukan anomali biasa—fenomena ini dikenal sebagai "kemarau basah", dan kini menjadi perhatian serius BMKG.
Indonesia, merupakan salah satu negara tropis dengan 2 musim utama, kemarau dan hujan. Negara kita sering kali menghadapi perubahan iklim yang dipengaruhi oleh pola cuaca.
Salah satu fenomena cuaca yang menarik perhatian pada tahun 2025 adalah “kemarau basah” yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Fenomena ini mengacu pada kondisi di mana musim kemarau tiba yang masih disertai dengan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya.
Meskipun terdengar kontradiktif, kemarau basah memiliki dampak signifikan terhadap berbagai sektor kehidupan di Indonesia.
(BACA JUGA: Nilai Rupiah Menguat Hari Ini, Tanda Ekonomi Pulih atau Sekadar Efek Musiman?)
(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)
Salah satu yang paling terpengaruh adalah sektor pertanian. Sektor ini memang cukup mengandalkan kondisi cuaca dalam proses penanaman bibit.
Jika curah hujan yang cukup tinggi terus terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang, maka hal tersebut dapat mengganggu jadwal tanam, bahkan dapat merusak kondisi hasil panen.
Selain itu, hujan yang turun dalam waktu yang lebih panjang, dapat menyebabkan berbagai bencana seperti; banjir, tanah longsor dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa itu “kemarau basah” dan apa penyebabnya simak penjelasannya di artikel berikut ini.
Kemarau basah terjadi ketika hujan tetap turun meski seharusnya wilayah Indonesia memasuki musim kering.
(BACA JUGA: Zarof Ricar Ditetapkan Tersangka: Dugaan Suap, Uang Rp920 Miliar & 51 Kg Emas Diungkap Kejagung)
Fenomena ini menandakan adanya pola cuaca yang tidak biasa, dan penting untuk dipahami dampaknya.
Pada musim kemarau normal, curah hujan umumnya kurang dari 50 mm per dasarian (10 hari).
Namun, dalam kondisi kemarau basah, curah hujan dapat melebihi angka tersebut secara signifikan dan berlangsung dalam periode yang lebih lama.
Lalu mengapa fenomena ini bisa terjadi? dan apa penyebabnya?
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), penyebab utama kemarau basah pada tahun 2025 adalah transisi fenomena El Niño menuju fase netral dari La Niña atau bisa disebut El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
(BACA JUGA: Buntut Sritex Pailit: Komisaris Utama Jadi Tersangka Korupsi Kredit Rp3,5 Triliun, Negara Merugi Besar!)
El Niño adalah fase hangat dari ENSO dimana ketika permukaan suhu air laut di Samudra Pasifik bagian Tengah dan Timur mengalami peningkatan.
Sedangkan, La Niña adalah fase dingin dari ENSO yang ditandai dengan penurunan suhu permukaan air laut Samudra Pasifik bagian Tengah dan Timur.
Kondisi transisi tadi, menyebabkan suhu muka laut cenderung lebih mendingin dari normal, termasuk di wilayah Indonesia yang dapat mempengaruhi pola cuaca lokal.
Selain itu, anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta penguatan angin pasat juga turut berkontribusi terhadap perubahan pola curah hujan di Indonesia.
Situasi ini lah yang akhirnya mengakibatkan peningkatan uap air yang menimbulkan hujan, karena itu lah tidak heran jika curah hujan di Indonesia masih cukup tinggi meski sudah memasuki musim kemarau.
(BACA JUGA: Jennifer Coppen Dikabarkan Berseteru Dengan Adik Iparnya, Justin Hubner Ikut Terseret?)
BMKG mencatat bahwa hingga pertengahan Mei 2025, curah hujan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mencapai 120 mm per bulan. Biasanya, angka ini turun drastis di musim kemarau.
Ahli klimatologi, menyebut fenomena ini sebagai sinyal perubahan iklim yang harus diantisipasi sejak dini. Jika tidak fenomena ini dapat menimbulkan berbagai dampak serius.
Lantas apa dampak dari fenomena tersebut, terutama di wilayah Indonesia?
Simak penjelasan lebih lengkap soak dampak kemarau basah di Indonesia pada halaman berikutnya…
DB NEWS - Di tengah musim kemarau yang biasanya kering dan berdebu, hujan deras justru mengguyur banyak wilayah Indonesia. Bukan anomali biasa—fenomena ini dikenal sebagai "kemarau basah", dan kini menjadi perhatian serius BMKG.
Indonesia, merupakan salah satu negara tropis dengan 2 musim utama, kemarau dan hujan. Negara kita sering kali menghadapi perubahan iklim yang dipengaruhi oleh pola cuaca.
Salah satu fenomena cuaca yang menarik perhatian pada tahun 2025 adalah “kemarau basah” yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Fenomena ini mengacu pada kondisi di mana musim kemarau tiba yang masih disertai dengan curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya.
Meskipun terdengar kontradiktif, kemarau basah memiliki dampak signifikan terhadap berbagai sektor kehidupan di Indonesia.
(BACA JUGA: Nilai Rupiah Menguat Hari Ini, Tanda Ekonomi Pulih atau Sekadar Efek Musiman?)
(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)
Salah satu yang paling terpengaruh adalah sektor pertanian. Sektor ini memang cukup mengandalkan kondisi cuaca dalam proses penanaman bibit.
Jika curah hujan yang cukup tinggi terus terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang, maka hal tersebut dapat mengganggu jadwal tanam, bahkan dapat merusak kondisi hasil panen.
Selain itu, hujan yang turun dalam waktu yang lebih panjang, dapat menyebabkan berbagai bencana seperti; banjir, tanah longsor dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa itu “kemarau basah” dan apa penyebabnya simak penjelasannya di artikel berikut ini.
Kemarau basah terjadi ketika hujan tetap turun meski seharusnya wilayah Indonesia memasuki musim kering.
(BACA JUGA: Zarof Ricar Ditetapkan Tersangka: Dugaan Suap, Uang Rp920 Miliar & 51 Kg Emas Diungkap Kejagung)
Fenomena ini menandakan adanya pola cuaca yang tidak biasa, dan penting untuk dipahami dampaknya.
Pada musim kemarau normal, curah hujan umumnya kurang dari 50 mm per dasarian (10 hari).
Namun, dalam kondisi kemarau basah, curah hujan dapat melebihi angka tersebut secara signifikan dan berlangsung dalam periode yang lebih lama.
Lalu mengapa fenomena ini bisa terjadi? dan apa penyebabnya?
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), penyebab utama kemarau basah pada tahun 2025 adalah transisi fenomena El Niño menuju fase netral dari La Niña atau bisa disebut El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
(BACA JUGA: Buntut Sritex Pailit: Komisaris Utama Jadi Tersangka Korupsi Kredit Rp3,5 Triliun, Negara Merugi Besar!)
El Niño adalah fase hangat dari ENSO dimana ketika permukaan suhu air laut di Samudra Pasifik bagian Tengah dan Timur mengalami peningkatan.
Sedangkan, La Niña adalah fase dingin dari ENSO yang ditandai dengan penurunan suhu permukaan air laut Samudra Pasifik bagian Tengah dan Timur.
Kondisi transisi tadi, menyebabkan suhu muka laut cenderung lebih mendingin dari normal, termasuk di wilayah Indonesia yang dapat mempengaruhi pola cuaca lokal.
Selain itu, anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta penguatan angin pasat juga turut berkontribusi terhadap perubahan pola curah hujan di Indonesia.
Situasi ini lah yang akhirnya mengakibatkan peningkatan uap air yang menimbulkan hujan, karena itu lah tidak heran jika curah hujan di Indonesia masih cukup tinggi meski sudah memasuki musim kemarau.
(BACA JUGA: Jennifer Coppen Dikabarkan Berseteru Dengan Adik Iparnya, Justin Hubner Ikut Terseret?)
BMKG mencatat bahwa hingga pertengahan Mei 2025, curah hujan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mencapai 120 mm per bulan. Biasanya, angka ini turun drastis di musim kemarau.
Ahli klimatologi, menyebut fenomena ini sebagai sinyal perubahan iklim yang harus diantisipasi sejak dini. Jika tidak fenomena ini dapat menimbulkan berbagai dampak serius.
Lantas apa dampak dari fenomena tersebut, terutama di wilayah Indonesia?
Simak penjelasan lebih lengkap soak dampak kemarau basah di Indonesia pada halaman berikutnya…