Raja Ampat Terancam Tambang Nikel, Masyarakat Adat dan Aktivis Suarakan #SaveRajaAmpat
05 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis
44 2

Tambang Nikel di Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat: Legalitas yang Dipertanyakan

Beberapa pulau kecil kini telah menjadi lokasi survei dan eksplorasi tambang, sebagaimana tercatat dalam laporan Greenpeace dan AMAN.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Maret 2025 kemudian menyoroti bahwa  pemerintah mengeluarkan izin usaha pertambangan di Raja Ampat.

Di Pulau Gag misalnya, PT Gag Nikel memiliki konsesi seluas 13.136 hektar, hampir dua kali lipat dari luas daratannya sendiri.

PT Kawei Sejahtera Mining menguasai Pulau Kawe sejak 2013, dan PT Anugerah Surya Pratama menguasai sebagian besar wilayah Waigeo dan Manuran.

(BACA JUGA: Varian Baru COVID-19 Melanda Asia! Ini Respons Cepat Kemenkes RI Cegah Gelombang Baru)

Bahkan, PT Mulia Raymond Perkasa telah memulai survei dan pengambilan sampel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun sejak 2024.

Tak tinggal diam, masyarakat adat Raja Ampat kini tampil sebagai garda terdepan dalam perlawanan.

Bagi mereka, ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal hak atas tanah leluhur yang diwariskan turun-temurun.

Masyarakat Adat Melawan: Suara dari Tanah Leluhur

Elon Salomo Moifiilit, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Moi Maya, menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat adat menolak eksploitasi tambang.

Mereka bukan anti-pembangunan, namun menentang segala bentuk pembangunan yang mengorbankan hak hidup masyarakat adat dan lingkungan.

(BACA JUGA: Surabaya Pesta Pora 2025: Festival Pantai, Kuliner, dan Olahraga Rayakan HUT Kota Surabaya ke-732)

"Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami menolak eksploitasi yang mengorbankan Masyarakat Adat dan menghancurkan lingkungan," tegas Elon.

Penduduk lokal di Raja Ampat hidup dari kekayaan laut dan hasil hutan non-kayu. Ketika tambang masuk, sumber air tercemar, hutan dibabat, dan laut dipenuhi sedimentasi.

Pulau-pulau kecil yang semula menjadi penyangga kehidupan kini berubah menjadi ladang material tambang.

Walhi (Organisasi gerakan lingkungan hidup Indonesia)  juga mengecam keras pemberian izin tambang ini.

Mereka menyoroti bahwa pulau-pulau seperti Kawe, Gag, dan Manuran memiliki luasan kurang dari 50 km²—terlalu kecil untuk menampung aktivitas tambang tanpa kerusakan besar.

(BACA JUGA: Fakta Sebenarnya di Balik Aksi Brigitte Macron Tepis Wajah Presiden Prancis Saat Mendarat di Vietnam)

"Pertambangan pada pulau-pulau kecil (dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 2000 Km2) yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan,” tulis Walhi.

“Dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya dengan jelas dilarang untuk dilakukan, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 35 huruf K UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014," tambahnya.

Menurut Walhi, Pulau Kawe yang hanya seluas 50 km² berisiko mengalami kerusakan berat dalam 10–15 tahun jika aktivitas tambang dilakukan tanpa pembatasan ekologis.

Kekhawatiran pun makin meluas setelah laporan menyebut bahwa warga di Pulau Gag takut berenang karena banyak yang mengalami penyakit kulit.

Belum lagi dampak debu nikel yang terbawa angin dan masuk ke permukiman.

(BACA JUGA: Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya)

Ketegangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan akhirnya masuk ke meja legislatif.

Para wakil rakyat mulai merespons kegelisahan publik, dengan wacana penguatan perlindungan hukum bagi kawasan wisata strategis seperti Raja Ampat.

DPR Komisi VII Mengupayakan Pengesahan RUU Pariwisata

Pertambangan nikel memang menjadi tulang punggung bagi produksi baterai kendaraan listrik dan transisi energi global.

Namun, di tengah semangat ‘energi hijau’ dunia, muncul ironi besar: kawasan yang selama ini menjaga karbon biru dan keanekaragaman hayati justru dikorbankan demi industri yang katanya ramah lingkungan.

Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menilai bahwa kegiatan hilirisasi nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah melanggar aturan hukum yang berlaku dan mengancam kelestarian salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia.

(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)

Novita menekankan bahwa Raja Ampat tidak layak dijadikan lokasi tambang, mengingat statusnya sebagai Global Geopark yang diakui oleh UNESCO.

Raja Ampat juga diakui sebagai kawasan unggulan untuk pariwisata dan konservasi di Indonesia.

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian,” tegasnya.

“Tidak ada satu pun pasal yang melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut,” tambahnya.

Sebagai bentuk tanggapan atas permasalahan tersebut, Novita menyampaikan bahwa saat ini Komisi VII DPR RI tengah mengupayakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pariwisata.

(BACA JUGA: Terungkap! Bos CV Sentosa Seal Sembunyikan 108 Ijazah Karyawan di Rumahnya)

RUU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi kawasan wisata strategis nasional, termasuk Raja Ampat.

Dengan kehilangan daya tarik utamanya, kelestarian alam dan budaya—Raja Ampat bukan hanya kehilangan identitas, tapi juga mengancam sektor pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi lokal.

Jika hutan, terumbu karang, dan spesies langka musnah, lalu apa yang tersisa untuk generasi mendatang?

Bagaimana langkah selanjutnya yang diambil pemerintah untuk persoalan ini? Ikuti terus DB News untuk perkembangan terbaru mengenai Raja Ampat.(*)

Berita Terbaru
Rekomendasi Berita
Raja Ampat Terancam Tambang Nikel, Masyarakat Adat dan Aktivis Suarakan #SaveRajaAmpat
05 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
44 2
 

Tambang Nikel di Pulau-Pulau Kecil Raja Ampat: Legalitas yang Dipertanyakan

Beberapa pulau kecil kini telah menjadi lokasi survei dan eksplorasi tambang, sebagaimana tercatat dalam laporan Greenpeace dan AMAN.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Maret 2025 kemudian menyoroti bahwa  pemerintah mengeluarkan izin usaha pertambangan di Raja Ampat.

Di Pulau Gag misalnya, PT Gag Nikel memiliki konsesi seluas 13.136 hektar, hampir dua kali lipat dari luas daratannya sendiri.

PT Kawei Sejahtera Mining menguasai Pulau Kawe sejak 2013, dan PT Anugerah Surya Pratama menguasai sebagian besar wilayah Waigeo dan Manuran.

(BACA JUGA: Varian Baru COVID-19 Melanda Asia! Ini Respons Cepat Kemenkes RI Cegah Gelombang Baru)

Bahkan, PT Mulia Raymond Perkasa telah memulai survei dan pengambilan sampel di Pulau Batang Pele dan Manyaifun sejak 2024.

Tak tinggal diam, masyarakat adat Raja Ampat kini tampil sebagai garda terdepan dalam perlawanan.

Bagi mereka, ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal hak atas tanah leluhur yang diwariskan turun-temurun.

Masyarakat Adat Melawan: Suara dari Tanah Leluhur

Elon Salomo Moifiilit, Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Moi Maya, menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat adat menolak eksploitasi tambang.

Mereka bukan anti-pembangunan, namun menentang segala bentuk pembangunan yang mengorbankan hak hidup masyarakat adat dan lingkungan.

(BACA JUGA: Surabaya Pesta Pora 2025: Festival Pantai, Kuliner, dan Olahraga Rayakan HUT Kota Surabaya ke-732)

"Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami menolak eksploitasi yang mengorbankan Masyarakat Adat dan menghancurkan lingkungan," tegas Elon.

Penduduk lokal di Raja Ampat hidup dari kekayaan laut dan hasil hutan non-kayu. Ketika tambang masuk, sumber air tercemar, hutan dibabat, dan laut dipenuhi sedimentasi.

Pulau-pulau kecil yang semula menjadi penyangga kehidupan kini berubah menjadi ladang material tambang.

Walhi (Organisasi gerakan lingkungan hidup Indonesia)  juga mengecam keras pemberian izin tambang ini.

Mereka menyoroti bahwa pulau-pulau seperti Kawe, Gag, dan Manuran memiliki luasan kurang dari 50 km²—terlalu kecil untuk menampung aktivitas tambang tanpa kerusakan besar.

(BACA JUGA: Fakta Sebenarnya di Balik Aksi Brigitte Macron Tepis Wajah Presiden Prancis Saat Mendarat di Vietnam)

"Pertambangan pada pulau-pulau kecil (dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 2000 Km2) yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan,” tulis Walhi.

“Dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya dengan jelas dilarang untuk dilakukan, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 35 huruf K UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014," tambahnya.

Menurut Walhi, Pulau Kawe yang hanya seluas 50 km² berisiko mengalami kerusakan berat dalam 10–15 tahun jika aktivitas tambang dilakukan tanpa pembatasan ekologis.

Kekhawatiran pun makin meluas setelah laporan menyebut bahwa warga di Pulau Gag takut berenang karena banyak yang mengalami penyakit kulit.

Belum lagi dampak debu nikel yang terbawa angin dan masuk ke permukiman.

(BACA JUGA: Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya)

Ketegangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan akhirnya masuk ke meja legislatif.

Para wakil rakyat mulai merespons kegelisahan publik, dengan wacana penguatan perlindungan hukum bagi kawasan wisata strategis seperti Raja Ampat.

DPR Komisi VII Mengupayakan Pengesahan RUU Pariwisata

Pertambangan nikel memang menjadi tulang punggung bagi produksi baterai kendaraan listrik dan transisi energi global.

Namun, di tengah semangat ‘energi hijau’ dunia, muncul ironi besar: kawasan yang selama ini menjaga karbon biru dan keanekaragaman hayati justru dikorbankan demi industri yang katanya ramah lingkungan.

Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menilai bahwa kegiatan hilirisasi nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah melanggar aturan hukum yang berlaku dan mengancam kelestarian salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia.

(BACA JUGA: Shell Cabut dari Bisnis SPBU di Indonesia, Citadel & Sefas Ambil Alih: Apa Artinya bagi Konsumen?)

Novita menekankan bahwa Raja Ampat tidak layak dijadikan lokasi tambang, mengingat statusnya sebagai Global Geopark yang diakui oleh UNESCO.

Raja Ampat juga diakui sebagai kawasan unggulan untuk pariwisata dan konservasi di Indonesia.

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian,” tegasnya.

“Tidak ada satu pun pasal yang melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut,” tambahnya.

Sebagai bentuk tanggapan atas permasalahan tersebut, Novita menyampaikan bahwa saat ini Komisi VII DPR RI tengah mengupayakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pariwisata.

(BACA JUGA: Terungkap! Bos CV Sentosa Seal Sembunyikan 108 Ijazah Karyawan di Rumahnya)

RUU ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi kawasan wisata strategis nasional, termasuk Raja Ampat.

Dengan kehilangan daya tarik utamanya, kelestarian alam dan budaya—Raja Ampat bukan hanya kehilangan identitas, tapi juga mengancam sektor pariwisata yang menjadi tumpuan ekonomi lokal.

Jika hutan, terumbu karang, dan spesies langka musnah, lalu apa yang tersisa untuk generasi mendatang?

Bagaimana langkah selanjutnya yang diambil pemerintah untuk persoalan ini? Ikuti terus DB News untuk perkembangan terbaru mengenai Raja Ampat.(*)

Tautan telah disalin ke clipboard!