DB NEWS – Di era modern yang dipenuhi tuntutan sosial dan tekanan ekonomi, muncul satu istilah yang kian menggema di kalangan usia produktif: “Generasi sandwich”.
Istilah ini merujuk pada individu yang terjepit secara finansial, emosional, dan fisik di antara dua generasi—orang tua yang sudah menua dan anak-anak yang masih bergantung.
Tak heran, banyak dari mereka yang merasa terhimpit oleh kewajiban, seolah menjadi “penyangga” keluarga dari dua arah yang berlawanan.
Tetapi, apakah menjadi bagian dari generasi sandwich berarti hidup dalam tekanan tiada akhir?
Apakah masih mungkin menjalani gaya hidup yang seimbang di tengah tumpukan tanggung jawab ini?
(BACA JUGA: Bahaya Junk Food: Ini Dampak Kesehatan Jangka Panjang yang Perlu Kamu Ketahui)
Istilah “generasi sandwich” pertama kali dikenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981.
Ia menggambarkan kelompok usia 30–50 tahun yang secara simultan harus merawat anak-anak sekaligus orang tua yang menua.
Di Indonesia, fenomena ini makin mencuat seiring naiknya usia harapan hidup, mahalnya biaya pendidikan, serta ketimpangan akses terhadap dana pensiun yang layak.
Kondisi ini membuat banyak individu terjebak dalam lingkaran pengeluaran yang seolah tak ada habisnya.
Gaji bulanan dibagi untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak, cicilan rumah, dan di saat bersamaan, harus pula menanggung biaya kesehatan atau kebutuhan harian orang tua.
Tak hanya menuntut secara finansial, situasi ini juga menguras waktu dan energi emosional.
Namun, penting untuk dicatat bahwa menjadi generasi sandwich bukanlah takdir menyedihkan.
Dengan pemahaman yang tepat dan strategi hidup yang seimbang, kita tetap bisa menjalani peran ini dengan lebih sehat dan bermakna.
Memahami arti generasi sandwich baru langkah awal, karena di balik istilah ini, terdapat tanggung jawab finansial dan emosional yang kompleks.
Beban finansial menjadi tantangan utama. Di Indonesia, generasi sandwich semakin rentan terhadap stress jika tidak punya strategi keuangan yang jelas.
(BACA JUGA: FOMO di Era Media Sosial: Ancaman Nyata bagi Kesehatan Mental Remaja)
Survei di Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa 48,7% masyarakat usia produktif (25–45 tahun) di Indonesia berada dalam posisi sebagai generasi sandwich.
Artinya, hampir separuh pekerja produktif harus membagi pendapatannya untuk menghidupi tiga generasi sekaligus.
Di balik angka itu, tersembunyi kisah-kisah kelelahan mental.
Banyak dari mereka yang merasa bersalah karena tak mampu memenuhi ekspektasi orang tua, merasa kurang hadir dalam tumbuh kembang anak, dan pada saat bersamaan mengabaikan kebutuhan pribadi.
Beban semacam ini seringkali memicu stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.
(BACA JUGA: 7 Trik Ampuh Bangun Pagi Anti Malas–Nomor 3 Bikin Kamu Langsung Melek!)
Selain itu, keterbatasan waktu untuk diri sendiri kerap menjadi penghambat utama dalam menjaga kesehatan fisik dan mental.
Padahal, justru “me time” merupakan salah satu kunci untuk menjaga daya tahan dalam menjalankan peran ganda ini.
Meski tantangannya berat, bukan berarti tak ada jalan keluar. Generasi sandwich tetap bisa membangun kehidupan yang seimbang asalkan memiliki strategi yang tepat dan realistis.
Bagaimana cara menghadapi peran menjadi sandwich generation? Adakah cara untuk memutus rantai sandwich generation ini? Simak di halaman berikutnya!
DB NEWS – Di era modern yang dipenuhi tuntutan sosial dan tekanan ekonomi, muncul satu istilah yang kian menggema di kalangan usia produktif: “Generasi sandwich”.
Istilah ini merujuk pada individu yang terjepit secara finansial, emosional, dan fisik di antara dua generasi—orang tua yang sudah menua dan anak-anak yang masih bergantung.
Tak heran, banyak dari mereka yang merasa terhimpit oleh kewajiban, seolah menjadi “penyangga” keluarga dari dua arah yang berlawanan.
Tetapi, apakah menjadi bagian dari generasi sandwich berarti hidup dalam tekanan tiada akhir?
Apakah masih mungkin menjalani gaya hidup yang seimbang di tengah tumpukan tanggung jawab ini?
(BACA JUGA: Bahaya Junk Food: Ini Dampak Kesehatan Jangka Panjang yang Perlu Kamu Ketahui)
Istilah “generasi sandwich” pertama kali dikenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981.
Ia menggambarkan kelompok usia 30–50 tahun yang secara simultan harus merawat anak-anak sekaligus orang tua yang menua.
Di Indonesia, fenomena ini makin mencuat seiring naiknya usia harapan hidup, mahalnya biaya pendidikan, serta ketimpangan akses terhadap dana pensiun yang layak.
Kondisi ini membuat banyak individu terjebak dalam lingkaran pengeluaran yang seolah tak ada habisnya.
Gaji bulanan dibagi untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak, cicilan rumah, dan di saat bersamaan, harus pula menanggung biaya kesehatan atau kebutuhan harian orang tua.
Tak hanya menuntut secara finansial, situasi ini juga menguras waktu dan energi emosional.
Namun, penting untuk dicatat bahwa menjadi generasi sandwich bukanlah takdir menyedihkan.
Dengan pemahaman yang tepat dan strategi hidup yang seimbang, kita tetap bisa menjalani peran ini dengan lebih sehat dan bermakna.
Memahami arti generasi sandwich baru langkah awal, karena di balik istilah ini, terdapat tanggung jawab finansial dan emosional yang kompleks.
Beban finansial menjadi tantangan utama. Di Indonesia, generasi sandwich semakin rentan terhadap stress jika tidak punya strategi keuangan yang jelas.
(BACA JUGA: FOMO di Era Media Sosial: Ancaman Nyata bagi Kesehatan Mental Remaja)
Survei di Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa 48,7% masyarakat usia produktif (25–45 tahun) di Indonesia berada dalam posisi sebagai generasi sandwich.
Artinya, hampir separuh pekerja produktif harus membagi pendapatannya untuk menghidupi tiga generasi sekaligus.
Di balik angka itu, tersembunyi kisah-kisah kelelahan mental.
Banyak dari mereka yang merasa bersalah karena tak mampu memenuhi ekspektasi orang tua, merasa kurang hadir dalam tumbuh kembang anak, dan pada saat bersamaan mengabaikan kebutuhan pribadi.
Beban semacam ini seringkali memicu stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.
(BACA JUGA: 7 Trik Ampuh Bangun Pagi Anti Malas–Nomor 3 Bikin Kamu Langsung Melek!)
Selain itu, keterbatasan waktu untuk diri sendiri kerap menjadi penghambat utama dalam menjaga kesehatan fisik dan mental.
Padahal, justru “me time” merupakan salah satu kunci untuk menjaga daya tahan dalam menjalankan peran ganda ini.
Meski tantangannya berat, bukan berarti tak ada jalan keluar. Generasi sandwich tetap bisa membangun kehidupan yang seimbang asalkan memiliki strategi yang tepat dan realistis.
Bagaimana cara menghadapi peran menjadi sandwich generation? Adakah cara untuk memutus rantai sandwich generation ini? Simak di halaman berikutnya!