Setelah Kejadian Kiesha & Dimas, Akankah Industri Film Indonesia Berbenah?
26 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Ahmad Dzul Ilmi Muis
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis
19 1

Celah Profesionalisme dan Keamanan di Balik Layar

Set syuting adalah ruang kerja yang penuh tekanan—tenggat waktu, ekspektasi artistik, serta dinamika antarpelaku seni yang kompleks. 

Tapi tekanan bukan pembenaran atas kekerasan fisik atau verbal. Insiden Kiesha–Dimas jadi alarm keras bahwa belum semua pelaku industri memahami batas profesionalisme.

Dalam praktik global, beberapa protokol ketat telah diterapkan di industri film internasional: unit kesejahteraan kru, psikolog lokasi, hingga pelatihan etika antaraktor. 

Di Indonesia, sistem seperti ini masih jarang terdengar, bahkan pada produksi berskala besar.

Rumah produksi memiliki peran sentral. Bukan hanya menyiapkan teknis produksi, mereka seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan lokasi syuting aman, ramah, dan beretika—terutama bagi aktor muda atau pendatang baru yang sering berada dalam posisi rentan.

"Dalam industri profesional, harus ada standard operating procedure (SOP) khusus untuk penanganan konflik di lokasi syuting," ujar Rina Wahyudi, pengamat perfilman dari Universitas Indonesia.

Dari sisi hukum, belum ada regulasi eksplisit yang mengatur sanksi administratif atas kelalaian rumah produksi dalam menjaga keamanan syuting. 

Semua masih bergantung pada etika personal dan penyelesaian kekeluargaan.

Masalahnya, penyelesaian damai tak selalu menyelesaikan akar masalah. Tanpa reformasi budaya kerja, konflik serupa bisa terulang kembali.

Lantas, di tengah masalah struktural ini, apakah ada harapan industri perfilman nasional benar-benar berbenah dan bertumbuh secara sehat?

Berita Terbaru
Rekomendasi Berita
Setelah Kejadian Kiesha & Dimas, Akankah Industri Film Indonesia Berbenah?
26 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
19 1
 

Celah Profesionalisme dan Keamanan di Balik Layar

Set syuting adalah ruang kerja yang penuh tekanan—tenggat waktu, ekspektasi artistik, serta dinamika antarpelaku seni yang kompleks. 

Tapi tekanan bukan pembenaran atas kekerasan fisik atau verbal. Insiden Kiesha–Dimas jadi alarm keras bahwa belum semua pelaku industri memahami batas profesionalisme.

Dalam praktik global, beberapa protokol ketat telah diterapkan di industri film internasional: unit kesejahteraan kru, psikolog lokasi, hingga pelatihan etika antaraktor. 

Di Indonesia, sistem seperti ini masih jarang terdengar, bahkan pada produksi berskala besar.

Rumah produksi memiliki peran sentral. Bukan hanya menyiapkan teknis produksi, mereka seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan lokasi syuting aman, ramah, dan beretika—terutama bagi aktor muda atau pendatang baru yang sering berada dalam posisi rentan.

"Dalam industri profesional, harus ada standard operating procedure (SOP) khusus untuk penanganan konflik di lokasi syuting," ujar Rina Wahyudi, pengamat perfilman dari Universitas Indonesia.

Dari sisi hukum, belum ada regulasi eksplisit yang mengatur sanksi administratif atas kelalaian rumah produksi dalam menjaga keamanan syuting. 

Semua masih bergantung pada etika personal dan penyelesaian kekeluargaan.

Masalahnya, penyelesaian damai tak selalu menyelesaikan akar masalah. Tanpa reformasi budaya kerja, konflik serupa bisa terulang kembali.

Lantas, di tengah masalah struktural ini, apakah ada harapan industri perfilman nasional benar-benar berbenah dan bertumbuh secara sehat?

Tautan telah disalin ke clipboard!