Raja Ampat Terancam Tambang Nikel, Masyarakat Adat dan Aktivis Suarakan #SaveRajaAmpat
05 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis
30 2

DB NEWS - Di tengah megahnya gelaran Indonesia Critical Minerals Conference 2025, sekelompok aktivis lingkungan dan perwakilan masyarakat adat Papua menyuarakan protes damai terhadap ancaman tambang nikel di Raja Ampat.

Aksi yang berlangsung di dalam dan luar ruang konferensi itu sontak menarik perhatian publik, bahkan menjadikan tagar #SaveRajaAmpat trending di platform media sosial X.

Spanduk bertuliskan “Save Raja Ampat From Nickel Mining” dan “Nickel Mines Destroy Lives”, menjadi simbol perwakilan perlawanan aktivis dan masyarakat setempat.

"Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi," ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik.

Raja Ampat: Surga Biodiversitas yang Terancam

Raja Ampat telah lama dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

(BACA JUGA: Dunia Semakin Panas: Penyebab, Dampak Ekstrem, dan Tindakan Nyata Generasi Z)

Terletak di ujung barat laut Papua Barat, kepulauan ini bukan hanya destinasi wisata dunia, tetapi juga laboratorium alami kehidupan laut dan daratan.

Di balik panorama eksotisnya yang memikat, dari tebing karst Wayag hingga air jernih Teluk Kabul, terdapat ekosistem kompleks yang menyimpang ribuan spesies unik.

Bagi para penyelam dan ilmuwan kelautan, Raja Ampat adalah surga yang tak tertandingi.

Data dari badan konservasi internasional menyebutkan bahwa kawasan laut Raja Ampat menjadi rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia, 1.511 jenis ikan, serta lebih dari 500 spesies karang.

Sebuah angka yang menunjukkan pentingnya kawasan ini bagi keseimbangan ekologi global.

(BACA JUGA: Hari Bumi 2025—Dorong Transisi Energi Terbarukan yang Adil dan Merata!)

Namun, surga ini kini berada di ujung tanduk. Ancaman tambang nikel mulai menggerogoti tanah dan lautnya.

Antara Keindahan Alam dan Bahaya Ekstraksi

Untuk mencapai Raja Ampat, pelancong biasanya memulai perjalanan dari Kota Sorong, lalu melanjutkan dengan kapal cepat ke Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat.

Perjalanan ini hanya memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Namun, di balik keindahan yang menyambut wisatawan, kini tersimpan kekhawatiran akan masa depan kawasan ini.

Empat pulau utama—Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool, menjadi titik awal penyebaran penduduk lokal yang umumnya menggantungkan hidup dari laut.

Kehidupan nelayan, pemandu wisata, serta pengrajin lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan.

(BACA JUGA: Kemenkes Keluarkan Surat Edaran! Ini Respon Surabaya Hadapi Varian Baru COVID-19)

Ketika tambang nikel mulai memasuki wilayah ini, tidak hanya ekosistem yang terancam, tapi juga kehidupan masyarakat adat.

Beralih dari keindahan laut, daratan Raja Ampat pun tak kalah memukau. Hutan tropis lebat, pantai berpasir putih, serta kehidupan liar seperti burung cendrawasih menghiasi permukaannya.

Desa Arborek, sebagai contoh, menjadi model desa wisata berbasis budaya lokal dengan tarian, kuliner sagu Sinole, dan kerajinan anyaman yang diwariskan secara turun-temurun.

Sayangnya, semua itu bisa sirna apabila tambang mulai memasuki wilayah sensitif.

Dampak ekologis dan sosial mulai dirasakan oleh warga, menurut laporan berbagai lembaga lingkungan.

(BACA JUGA: Setelah 20 Tahun Menghilang, Kucing Merah Kalimantan Muncul Kembali di TN Kayan Mentarang)

Ketika tambang mulai merambah wilayah-wilayah kecil nan rapuh, pertanyaan besar pun muncul: Atas dasar legalitas apa eksploitasi ini dijalankan? Inilah awal dari persoalan hukum dan kebijakan yang kini turut dipersoalkan.

Bagaimana bisa muncul pertanyaan terkait legalitas permasalahan ini?  Bagaimana tanggapan pemerintah terkait hal ini? Simak di halaman berikutnya!

Berita Terbaru
Rekomendasi Berita
Raja Ampat Terancam Tambang Nikel, Masyarakat Adat dan Aktivis Suarakan #SaveRajaAmpat
05 Jun 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
30 2
 

DB NEWS - Di tengah megahnya gelaran Indonesia Critical Minerals Conference 2025, sekelompok aktivis lingkungan dan perwakilan masyarakat adat Papua menyuarakan protes damai terhadap ancaman tambang nikel di Raja Ampat.

Aksi yang berlangsung di dalam dan luar ruang konferensi itu sontak menarik perhatian publik, bahkan menjadikan tagar #SaveRajaAmpat trending di platform media sosial X.

Spanduk bertuliskan “Save Raja Ampat From Nickel Mining” dan “Nickel Mines Destroy Lives”, menjadi simbol perwakilan perlawanan aktivis dan masyarakat setempat.

"Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi," ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik.

Raja Ampat: Surga Biodiversitas yang Terancam

Raja Ampat telah lama dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

(BACA JUGA: Dunia Semakin Panas: Penyebab, Dampak Ekstrem, dan Tindakan Nyata Generasi Z)

Terletak di ujung barat laut Papua Barat, kepulauan ini bukan hanya destinasi wisata dunia, tetapi juga laboratorium alami kehidupan laut dan daratan.

Di balik panorama eksotisnya yang memikat, dari tebing karst Wayag hingga air jernih Teluk Kabul, terdapat ekosistem kompleks yang menyimpang ribuan spesies unik.

Bagi para penyelam dan ilmuwan kelautan, Raja Ampat adalah surga yang tak tertandingi.

Data dari badan konservasi internasional menyebutkan bahwa kawasan laut Raja Ampat menjadi rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia, 1.511 jenis ikan, serta lebih dari 500 spesies karang.

Sebuah angka yang menunjukkan pentingnya kawasan ini bagi keseimbangan ekologi global.

(BACA JUGA: Hari Bumi 2025—Dorong Transisi Energi Terbarukan yang Adil dan Merata!)

Namun, surga ini kini berada di ujung tanduk. Ancaman tambang nikel mulai menggerogoti tanah dan lautnya.

Antara Keindahan Alam dan Bahaya Ekstraksi

Untuk mencapai Raja Ampat, pelancong biasanya memulai perjalanan dari Kota Sorong, lalu melanjutkan dengan kapal cepat ke Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat.

Perjalanan ini hanya memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Namun, di balik keindahan yang menyambut wisatawan, kini tersimpan kekhawatiran akan masa depan kawasan ini.

Empat pulau utama—Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool, menjadi titik awal penyebaran penduduk lokal yang umumnya menggantungkan hidup dari laut.

Kehidupan nelayan, pemandu wisata, serta pengrajin lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan.

(BACA JUGA: Kemenkes Keluarkan Surat Edaran! Ini Respon Surabaya Hadapi Varian Baru COVID-19)

Ketika tambang nikel mulai memasuki wilayah ini, tidak hanya ekosistem yang terancam, tapi juga kehidupan masyarakat adat.

Beralih dari keindahan laut, daratan Raja Ampat pun tak kalah memukau. Hutan tropis lebat, pantai berpasir putih, serta kehidupan liar seperti burung cendrawasih menghiasi permukaannya.

Desa Arborek, sebagai contoh, menjadi model desa wisata berbasis budaya lokal dengan tarian, kuliner sagu Sinole, dan kerajinan anyaman yang diwariskan secara turun-temurun.

Sayangnya, semua itu bisa sirna apabila tambang mulai memasuki wilayah sensitif.

Dampak ekologis dan sosial mulai dirasakan oleh warga, menurut laporan berbagai lembaga lingkungan.

(BACA JUGA: Setelah 20 Tahun Menghilang, Kucing Merah Kalimantan Muncul Kembali di TN Kayan Mentarang)

Ketika tambang mulai merambah wilayah-wilayah kecil nan rapuh, pertanyaan besar pun muncul: Atas dasar legalitas apa eksploitasi ini dijalankan? Inilah awal dari persoalan hukum dan kebijakan yang kini turut dipersoalkan.

Bagaimana bisa muncul pertanyaan terkait legalitas permasalahan ini?  Bagaimana tanggapan pemerintah terkait hal ini? Simak di halaman berikutnya!

Tautan telah disalin ke clipboard!