DB NEWS - Setiap tahun, ratusan ribu pelajar SMA di Indonesia berjibaku memperebutkan kursi di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur SNBP, SNBT, hingga seleksi mandiri.
Sistem seleksi yang disebut-sebut sebagai bentuk seleksi murni ini pada dasarnya menjanjikan keadilan–bahwa siapa yang terbaiklah yang akan lolos.
Di balik atmosfer persaingan yang semakin ketat, muncul pertanyaan mendasar yang terus menghantui.
Benarkah sistem seleksi masuk PTN benar-benar mencerminkan kemampuan dan kerja keras siswa atau justru menjadi ajang terselubung bagi mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap fasilitas, informasi, dan modal?
Isu ini kian relevan di tengah ketimpangan pendidikan yang masih nyata antara daerah maju dan tertinggal, serta peran bimbingan belajar mahal yang kerap menjadi penentu tak kasat mata dalam hasil seleksi.
(BACA JUGA: UTBK SNBT 2025 Kurang Beberapa Hari Lagi! Ini Jadwal, Aturan Lengkap, dan Dokumen yang Wajib Dibawa)
Namun, apakah benar sistem ini telah memberikan kesempatan yang setara bagi semua? Di sinilah kritik dan realita mulai bertabrakan.
Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) di atas kertas tampak sebagai sistem yang ideal.
Ia menghargai siswa yang konsisten berprestasi selama masa sekolah.
Penilaian tidak semata-mata berdasarkan saat ujian, tetapi mencerminkan perjalanan akademik yang panjang.
Namun dalam praktiknya, sistem ini masih jauh dari kata sempurna.
Kurikulum dan standar penilaian yang berbeda antar sekolah, apalagi antara sekolah negeri dan swasta, menciptakan ketimpangan sejak awal.
(BACA JUGA: Strategi Baru Lolos UTBK Tanpa Mengandalkan Passing Grade)
Siswa dari sekolah dengan fasilitas dan guru berkualitas tentu lebih mudah mencapai nilai tinggi dan prestasi di luar sekolah.
Belum lagi ‘branding’ sekolah unggulan yang masih kental di banyak masyarakat dan panitia seleksi, yang bisa mempengaruhi proses seleksi secara tidak langsung.
Transisi dari SNBP ke SNBT kemudian menjadi titik kritis.
Siswa yang tidak lolos SNBP dihadapkan pada tantangan baru: tes berbasis komputer yang mengandalkan kecepatan, strategi, dan kemampuan berpikir kritis dalam waktu terbatas.
Di sinilah dimensi lain dari ketimpangan semakin jelas terlihat, bagaimana gambarannya?
Bagaimana gambaran ketimpangan yang terlihat ini menjadi semakin jelas? Simak di halaman berikutnya!
DB NEWS - Setiap tahun, ratusan ribu pelajar SMA di Indonesia berjibaku memperebutkan kursi di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur SNBP, SNBT, hingga seleksi mandiri.
Sistem seleksi yang disebut-sebut sebagai bentuk seleksi murni ini pada dasarnya menjanjikan keadilan–bahwa siapa yang terbaiklah yang akan lolos.
Di balik atmosfer persaingan yang semakin ketat, muncul pertanyaan mendasar yang terus menghantui.
Benarkah sistem seleksi masuk PTN benar-benar mencerminkan kemampuan dan kerja keras siswa atau justru menjadi ajang terselubung bagi mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap fasilitas, informasi, dan modal?
Isu ini kian relevan di tengah ketimpangan pendidikan yang masih nyata antara daerah maju dan tertinggal, serta peran bimbingan belajar mahal yang kerap menjadi penentu tak kasat mata dalam hasil seleksi.
(BACA JUGA: UTBK SNBT 2025 Kurang Beberapa Hari Lagi! Ini Jadwal, Aturan Lengkap, dan Dokumen yang Wajib Dibawa)
Namun, apakah benar sistem ini telah memberikan kesempatan yang setara bagi semua? Di sinilah kritik dan realita mulai bertabrakan.
Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) di atas kertas tampak sebagai sistem yang ideal.
Ia menghargai siswa yang konsisten berprestasi selama masa sekolah.
Penilaian tidak semata-mata berdasarkan saat ujian, tetapi mencerminkan perjalanan akademik yang panjang.
Namun dalam praktiknya, sistem ini masih jauh dari kata sempurna.
Kurikulum dan standar penilaian yang berbeda antar sekolah, apalagi antara sekolah negeri dan swasta, menciptakan ketimpangan sejak awal.
(BACA JUGA: Strategi Baru Lolos UTBK Tanpa Mengandalkan Passing Grade)
Siswa dari sekolah dengan fasilitas dan guru berkualitas tentu lebih mudah mencapai nilai tinggi dan prestasi di luar sekolah.
Belum lagi ‘branding’ sekolah unggulan yang masih kental di banyak masyarakat dan panitia seleksi, yang bisa mempengaruhi proses seleksi secara tidak langsung.
Transisi dari SNBP ke SNBT kemudian menjadi titik kritis.
Siswa yang tidak lolos SNBP dihadapkan pada tantangan baru: tes berbasis komputer yang mengandalkan kecepatan, strategi, dan kemampuan berpikir kritis dalam waktu terbatas.
Di sinilah dimensi lain dari ketimpangan semakin jelas terlihat, bagaimana gambarannya?
Bagaimana gambaran ketimpangan yang terlihat ini menjadi semakin jelas? Simak di halaman berikutnya!