DB News - Aplikasi penyimpanan kripto 'World App - Worldcoin Wallet', sedang menjadi topik panas di tengah masyarakat maupun media sosial di Indonesia karena kontroversinya yang diduga berpotensi mengundang kejahatan digital yang menyasar penggunanya.
Aplikasi tersebut menjadi sorotan karena imbalan uang tunai sebesar ratusan hingga jutaan Rupiah yang dijanjikan oleh pihak World App.
Para calon pendaftar cukup menjalani pemindaian iris mata menggunakan alat pemindai khusus bernama Orb yang telah tersebar di beberapa titik lokasi yang telah ditentukan.
Hasil dari pemindaian ini nantinya akan diubah menjadi kode unik terenkripsi yang kemudian digunakan untuk membuat sebuah identitas global yang bertajuk WorldID.
Fenomena ini pun menarik perhatian luas masyarakat yang tertarik oleh janji imbalan tunai, memicu antrean panjang di berbagai lokasi pemindaian Orb.
(BACA JUGA: UKT Naik, Mahasiswa Berkurang? Ini Dampak Kebijakan Baru Pemerintah)
Ratusan warga yang telah mengantri mulai dari pagi hingga malam hari secara sukarela melakukan pemindaian mata mereka demi uang tunai yang diharapkan.
Lantas, apa sebenarnya aplikasi “World App - Worldcoin Wallet” itu?
Menurut laman world.org, World App adalah aplikasi yang berfungsi sebagai dompet untuk menyimpan World ID serta menjadi bagian dari jaringan global yang menghubungkan identitas manusia asli secara anonim dengan sistem keuangan yang inklusif.
Aplikasi ini memungkinkan pengguna mengelola aset digital seperti uang kripto, sekaligus mengakses berbagai aplikasi mini di dalamnya.
Untuk mendaftar, pengguna harus membuktikan bahwa mereka manusia asli dan bukan bot atau akun palsu dengan cara pemindaian retina menggunakan alat bernama Orb.
Jika lolos proses verifikasi, pengguna akan mendapatkan identitas digital bernama World ID, yang bisa digunakan untuk mengklaim Worldcoin secara gratis.
Layanan World dibagi menjadi empat pilar utama: World ID, World App, Worldcoin, dan World Chain.
World ID memungkinkan pengguna membuktikan keaslian identitasnya secara aman dan anonim di internet, khususnya di era kecerdasan buatan (AI).
Sementara Worldcoin digunakan untuk bertransaksi di dalam jaringan World dan bisa dikonversi ke uang tunai.
Jumlah uang yang bisa ditarik bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp800 ribu, tergantung pada nilai tukar token WLD saat itu.
World juga menegaskan bahwa Orb hanya memindai retina untuk verifikasi manusia, dan data tersebut akan dihapus setelah digunakan serta setelah pelatihan AI selesai dilakukan.
Di tengah ketegangan yang terjadi, pihak pemerintah pun turun tangan.
Laporan dari masyarakat membuat Kominfo melalui Komdigi memutuskan untuk membekukan sementara izin Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) Worldcoin dan World ID.
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, pembekuan izin Worldcoin dan WorldID bersifat preventif guna mencegah masyarakat dari potensi risiko kejahatan dalam dunia digital.
"Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat," ujar Alexander dalam siaran pers Komdigi.
Ia juga menjelaskan bahwa Komdigi juga akan menghubungi PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara untuk memberikan klarifikasi terkait adanya dugaan pelanggaran terhadap regulasi penyelenggaraan sistem elektronik.
Diketahui, 2 perusahaan tersebut memiliki keterkaitan dengan layanan Worldcoin.
Temuan awal investigasi menunjukkan bahwa PT. Terang Bulan Abadi belum tercatat sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan belum memiliki TDPSE sebagaimana yang diwajibkan oleh peraturan yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, layanan Worldcoin diketahui memakai TDPSE milik badan hukum lain, yaitu PT. Sandina Abadi Nusantara.
“Tidak mendaftarkan diri sebagai PSE dan menggunakan identitas badan hukum lain untuk mengoperasikan layanan digital adalah pelanggaran serius,” tegas Alexander.
Fenomena ini mengingatkan publik pada kasus Cambridge Analytica dimana data pribadi digunakan tanpa persetujuan jelas, memperkuat urgensi regulasi yang ketat terhadap penggunaan data biometrik di era digital.
Ia juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap ruang digital dilakukan secara adil dan ketat untuk menjaga keamanan dan kepercayaan terhadap ekosistem digital nasional.
Lantas, pihak pengembang World pun angkat bicara. Simak di halaman berikutnya
DB News - Aplikasi penyimpanan kripto 'World App - Worldcoin Wallet', sedang menjadi topik panas di tengah masyarakat maupun media sosial di Indonesia karena kontroversinya yang diduga berpotensi mengundang kejahatan digital yang menyasar penggunanya.
Aplikasi tersebut menjadi sorotan karena imbalan uang tunai sebesar ratusan hingga jutaan Rupiah yang dijanjikan oleh pihak World App.
Para calon pendaftar cukup menjalani pemindaian iris mata menggunakan alat pemindai khusus bernama Orb yang telah tersebar di beberapa titik lokasi yang telah ditentukan.
Hasil dari pemindaian ini nantinya akan diubah menjadi kode unik terenkripsi yang kemudian digunakan untuk membuat sebuah identitas global yang bertajuk WorldID.
Fenomena ini pun menarik perhatian luas masyarakat yang tertarik oleh janji imbalan tunai, memicu antrean panjang di berbagai lokasi pemindaian Orb.
(BACA JUGA: UKT Naik, Mahasiswa Berkurang? Ini Dampak Kebijakan Baru Pemerintah)
Ratusan warga yang telah mengantri mulai dari pagi hingga malam hari secara sukarela melakukan pemindaian mata mereka demi uang tunai yang diharapkan.
Lantas, apa sebenarnya aplikasi “World App - Worldcoin Wallet” itu?
Menurut laman world.org, World App adalah aplikasi yang berfungsi sebagai dompet untuk menyimpan World ID serta menjadi bagian dari jaringan global yang menghubungkan identitas manusia asli secara anonim dengan sistem keuangan yang inklusif.
Aplikasi ini memungkinkan pengguna mengelola aset digital seperti uang kripto, sekaligus mengakses berbagai aplikasi mini di dalamnya.
Untuk mendaftar, pengguna harus membuktikan bahwa mereka manusia asli dan bukan bot atau akun palsu dengan cara pemindaian retina menggunakan alat bernama Orb.
Jika lolos proses verifikasi, pengguna akan mendapatkan identitas digital bernama World ID, yang bisa digunakan untuk mengklaim Worldcoin secara gratis.
Layanan World dibagi menjadi empat pilar utama: World ID, World App, Worldcoin, dan World Chain.
World ID memungkinkan pengguna membuktikan keaslian identitasnya secara aman dan anonim di internet, khususnya di era kecerdasan buatan (AI).
Sementara Worldcoin digunakan untuk bertransaksi di dalam jaringan World dan bisa dikonversi ke uang tunai.
Jumlah uang yang bisa ditarik bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp800 ribu, tergantung pada nilai tukar token WLD saat itu.
World juga menegaskan bahwa Orb hanya memindai retina untuk verifikasi manusia, dan data tersebut akan dihapus setelah digunakan serta setelah pelatihan AI selesai dilakukan.
Di tengah ketegangan yang terjadi, pihak pemerintah pun turun tangan.
Laporan dari masyarakat membuat Kominfo melalui Komdigi memutuskan untuk membekukan sementara izin Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) Worldcoin dan World ID.
Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, pembekuan izin Worldcoin dan WorldID bersifat preventif guna mencegah masyarakat dari potensi risiko kejahatan dalam dunia digital.
"Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat," ujar Alexander dalam siaran pers Komdigi.
Ia juga menjelaskan bahwa Komdigi juga akan menghubungi PT. Terang Bulan Abadi dan PT. Sandina Abadi Nusantara untuk memberikan klarifikasi terkait adanya dugaan pelanggaran terhadap regulasi penyelenggaraan sistem elektronik.
Diketahui, 2 perusahaan tersebut memiliki keterkaitan dengan layanan Worldcoin.
Temuan awal investigasi menunjukkan bahwa PT. Terang Bulan Abadi belum tercatat sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan belum memiliki TDPSE sebagaimana yang diwajibkan oleh peraturan yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, layanan Worldcoin diketahui memakai TDPSE milik badan hukum lain, yaitu PT. Sandina Abadi Nusantara.
“Tidak mendaftarkan diri sebagai PSE dan menggunakan identitas badan hukum lain untuk mengoperasikan layanan digital adalah pelanggaran serius,” tegas Alexander.
Fenomena ini mengingatkan publik pada kasus Cambridge Analytica dimana data pribadi digunakan tanpa persetujuan jelas, memperkuat urgensi regulasi yang ketat terhadap penggunaan data biometrik di era digital.
Ia juga menambahkan bahwa pengawasan terhadap ruang digital dilakukan secara adil dan ketat untuk menjaga keamanan dan kepercayaan terhadap ekosistem digital nasional.
Lantas, pihak pengembang World pun angkat bicara. Simak di halaman berikutnya