Menakar Etika dan Batas Konten Digital: Belajar dari Polemik Codeblu dan Clairmont
10 May 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis
69 0

Dampak Ekonomi dan Psikologis Review Tajam

Kerugian akibat ulasan Codeblu tak hanya dirasakan Clairmont. Warung makan kecil seperti Madun Oseng Nyak Kopash juga terkena imbas.

Usaha rumahan yang sebelumnya ramai pembeli tiba-tiba sepi pasca-review negatif. Pemiliknya bahkan mengaku harus berhutang Rp250 juta untuk memperbaiki usahanya.

Di sisi lain, Clairmont mencatat kerugian hingga miliaran rupiah, terutama selama momen krusial seperti Natal dan Tahun Baru. Bahkan beberapa brand besar memilih memutus kerja sama.

Dalam upaya memperoleh keadilan, Clairmont membuka dua jalur: pidana dan perdata.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana ulasan digital bisa menjadi alat promosi yang ampuh, sekaligus senjata yang mematikan.

Fenomena ini juga memperkuat adagium lama: “Lisan itu lebih tajam dari pedang,” dalam konteks modern, lidah itu adalah konten, narasi, dan opini yang tersebar cepat lewat layar ponsel.

Codeblu, dengan gaya bicaranya yang lugas dan penuh percaya diri, telah menjadi figur yang dipercaya ribuan pengguna media sosial sebagai rujukan kuliner.

Di tengah kekuatan algoritma dan audiens digital, apakah para kreator sudah memahami dampak dari konten yang mereka sebar?

Refleksi dari Perspektif Adab Berbicara dalam Islam

Dalam konteks ini, penting kiranya menilik kembali prinsip menjaga lisan sebagaimana diajarkan dalam Islam.

Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam menjelaskan, bahwa mengontrol ucapan merupakan pangkal segala kebaikan.

Barangsiapa mampu menjaga lisannya, berarti ia mampu mengatur seluruh urusannya.

Ucapan, terutama yang dipublikasikan ke publik, adalah cerminan tanggung jawab moral.

Kritikan yang membangun tentu sah, bahkan perlu, namun ketika kritikan berubah menjadi tuduhan yang belum diverifikasi, kita memasuki wilayah yang penuh risiko.

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Bahwa dalam dunia yang serba cepat dan viral, kata-kata bisa menjadi mata uang sosial yang sangat mahal.

Namun, jika digunakan sembarangan, kata-kata yang sama bisa berbalik menjadi hutang hukum dan moral yang berat.

Inilah esensi dari “adab berbicara” yang sejatinya tak lekang oleh zaman.

Apakah kasus ini bisa dikaitkan dengan teori mengenai kesantunan? Bagaimana bentuk tanggung jawab sang konten kreator dari hasil review yang ia unggah? Simak di halaman berikutnya!

Berita Terbaru
Rekomendasi Berita
Menakar Etika dan Batas Konten Digital: Belajar dari Polemik Codeblu dan Clairmont
10 May 2025 - Dbmedianews
Author: Helga Almirah Chalanta Ramadhan Helga Almirah Chalanta Ramadhan
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
69 0
 

Dampak Ekonomi dan Psikologis Review Tajam

Kerugian akibat ulasan Codeblu tak hanya dirasakan Clairmont. Warung makan kecil seperti Madun Oseng Nyak Kopash juga terkena imbas.

Usaha rumahan yang sebelumnya ramai pembeli tiba-tiba sepi pasca-review negatif. Pemiliknya bahkan mengaku harus berhutang Rp250 juta untuk memperbaiki usahanya.

Di sisi lain, Clairmont mencatat kerugian hingga miliaran rupiah, terutama selama momen krusial seperti Natal dan Tahun Baru. Bahkan beberapa brand besar memilih memutus kerja sama.

Dalam upaya memperoleh keadilan, Clairmont membuka dua jalur: pidana dan perdata.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana ulasan digital bisa menjadi alat promosi yang ampuh, sekaligus senjata yang mematikan.

Fenomena ini juga memperkuat adagium lama: “Lisan itu lebih tajam dari pedang,” dalam konteks modern, lidah itu adalah konten, narasi, dan opini yang tersebar cepat lewat layar ponsel.

Codeblu, dengan gaya bicaranya yang lugas dan penuh percaya diri, telah menjadi figur yang dipercaya ribuan pengguna media sosial sebagai rujukan kuliner.

Di tengah kekuatan algoritma dan audiens digital, apakah para kreator sudah memahami dampak dari konten yang mereka sebar?

Refleksi dari Perspektif Adab Berbicara dalam Islam

Dalam konteks ini, penting kiranya menilik kembali prinsip menjaga lisan sebagaimana diajarkan dalam Islam.

Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab Jami' Al-Ulum wa Al-Hikam menjelaskan, bahwa mengontrol ucapan merupakan pangkal segala kebaikan.

Barangsiapa mampu menjaga lisannya, berarti ia mampu mengatur seluruh urusannya.

Ucapan, terutama yang dipublikasikan ke publik, adalah cerminan tanggung jawab moral.

Kritikan yang membangun tentu sah, bahkan perlu, namun ketika kritikan berubah menjadi tuduhan yang belum diverifikasi, kita memasuki wilayah yang penuh risiko.

Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Bahwa dalam dunia yang serba cepat dan viral, kata-kata bisa menjadi mata uang sosial yang sangat mahal.

Namun, jika digunakan sembarangan, kata-kata yang sama bisa berbalik menjadi hutang hukum dan moral yang berat.

Inilah esensi dari “adab berbicara” yang sejatinya tak lekang oleh zaman.

Apakah kasus ini bisa dikaitkan dengan teori mengenai kesantunan? Bagaimana bentuk tanggung jawab sang konten kreator dari hasil review yang ia unggah? Simak di halaman berikutnya!

Tautan telah disalin ke clipboard!