Dari kasus ini menarik untuk dikaitkan dengan teori kesantunan Geoffrey Leech (1993) yang menekankan enam prinsip dalam komunikasi: bidal kebijaksanaan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesetujuan, dan simpati.
Kritik tajam seperti yang dilakukan Codeblu bertentangan dengan beberapa prinsip tersebut, khususnya bidal kebijaksanaan dan simpati.
Misalnya, bidal kebijaksanaan mendorong kita untuk meminimalkan dampak negatif terhadap orang lain.
Kritik yang disampaikan tanpa memverifikasi fakta justru memaksimalkan potensi kerugian, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga reputasi dan emosional.
Sedangkan bidal simpati mengingatkan agar kita memaksimalkan empati terhadap orang lain, baik individu maupun korporasi–yang juga terdiri dari manusia-manusia yang bekerja keras.
Dalam video klarifikasinya, Codeblu sempat menyampaikan permohonan maaf. Namun, Clairmont memutuskan untuk tetap melanjutkan proses hukum.
Mediasi yang berlangsung kondusif berakhir tanpa solusi. Kuasa hukum Clairmont menegaskan, ini bukan sekadar soal maaf, melainkan soal edukasi dan pertanggungjawaban.
"Ada konsekuensi yang harus diterima oleh orang-orang yang melakukan sesuatu hal yang merugikan perusahaan," ujar kuasa hukum Clairmont.
Pernyataan ini menegaskan pentingnya literasi digital dan pemahaman hukum bagi para konten kreator.
Kebebasan berekspresi bukanlah tameng mutlak untuk menghindari tanggung jawab atas konten yang menyesatkan atau merugikan.
Lantas bagaimana kita menyingkapi hal ini?
Bagaimana kita menyingkapi narasi digital yang kita ekspos di ruang publik? Simak di halaman berikutnya!
Dari kasus ini menarik untuk dikaitkan dengan teori kesantunan Geoffrey Leech (1993) yang menekankan enam prinsip dalam komunikasi: bidal kebijaksanaan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesetujuan, dan simpati.
Kritik tajam seperti yang dilakukan Codeblu bertentangan dengan beberapa prinsip tersebut, khususnya bidal kebijaksanaan dan simpati.
Misalnya, bidal kebijaksanaan mendorong kita untuk meminimalkan dampak negatif terhadap orang lain.
Kritik yang disampaikan tanpa memverifikasi fakta justru memaksimalkan potensi kerugian, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga reputasi dan emosional.
Sedangkan bidal simpati mengingatkan agar kita memaksimalkan empati terhadap orang lain, baik individu maupun korporasi–yang juga terdiri dari manusia-manusia yang bekerja keras.
Dalam video klarifikasinya, Codeblu sempat menyampaikan permohonan maaf. Namun, Clairmont memutuskan untuk tetap melanjutkan proses hukum.
Mediasi yang berlangsung kondusif berakhir tanpa solusi. Kuasa hukum Clairmont menegaskan, ini bukan sekadar soal maaf, melainkan soal edukasi dan pertanggungjawaban.
"Ada konsekuensi yang harus diterima oleh orang-orang yang melakukan sesuatu hal yang merugikan perusahaan," ujar kuasa hukum Clairmont.
Pernyataan ini menegaskan pentingnya literasi digital dan pemahaman hukum bagi para konten kreator.
Kebebasan berekspresi bukanlah tameng mutlak untuk menghindari tanggung jawab atas konten yang menyesatkan atau merugikan.
Lantas bagaimana kita menyingkapi hal ini?
Bagaimana kita menyingkapi narasi digital yang kita ekspos di ruang publik? Simak di halaman berikutnya!