Pada era modern, Waisak pertama kali diperingati secara nasional di Indonesia di tahun 1953, atas inisiatif organisasi-organisasi Buddhis yang kemudian tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
Sejak saat itu, Waisak ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1983.
Candi Borobudur, yang merupakan salah satu situs Buddhis terbesar di dunia, juga menjadi pusat utama perayaan Waisak di Indonesia hingga saat ini.
Ribuan umat Buddha dari berbagai penjuru dunia akan berkumpul di sana untuk mengikuti prosesi dan puja bakti.
(BACA JUGA: Menggali Makna Halal Bihalal: Tradisi Unik Indonesia yang Mempererat Silaturahmi Pasca Lebaran)
Waisak memiliki beragam simbol yang memiliki arti tersendiri sebagai sarana menyampaikan makna spiritual dan filosofi yang mendalam. Seperti:
Lentera Waisak: Simbol pencerahan dan harapan. Ribuan lentera dilepaskan ke langit malam sebagai lambang pelepasan dari penderitaan dan kebodohan.
Air Suci: Digunakan dalam ritual Pemandian Patung Buddha (Bathing the Buddha). Melambangkan pemurnian hati dan pikiran.
Bunga Teratai (Padma): Lambang kebijaksanaan dan kesucian, karena teratai tumbuh di lumpur namun tetap bersih.
Bendera Buddhis: Lima warna bendera menggambarkan lima sinar Buddha, masing-masing memiliki arti seperti cinta kasih, kesucian, dan semangat.
(BACA JUGA: Sejarah dan Makna Opor Ayam: Hidangan Ikonik yang Wajib Ada Saat Lebaran)
Selain simbol-simbol tersebut, perayaan Waisak biasanya diisi dengan meditasi bersama, pembacaan paritta (doa), dan pelepasan satwa sebagai simbol cinta kasih pada semua makhluk.
Bagi umat Buddha, Waisak bukan sekadar perayaan, melainkan saat-saat penting yang bisa kita gunakan untuk melakukan kebajikan, contohnya:
Waisak juga menjadi waktu yang tepat untuk menguatkan tekad menjalani hidup lebih bijaksana dan berbelas kasih.
Meskipun Waisak adalah hari raya keagamaan umat Buddha, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal.
(BACA JUGA: Healing Tipis: 5 Rekomendasi Cafe Nongkrongable di Surabaya Asyik Buat Nongkrong)
Welas asih, kedamaian batin, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap kehidupan adalah ajaran yang dapat diterapkan oleh siapa pun, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang budaya.
Perayaan Waisak di Indonesia, khususnya di Candi Borobudur, kerap mengundang kehadiran pemuka lintas agama dan masyarakat umum.
Hal ini menunjukkan bahwa Waisak bukan hanya milik umat Buddha, tetapi juga milik seluruh umat manusia yang mendambakan kedamaian dan kebijaksanaan.
Bahkan, banyak sekolah dan komunitas non-Buddhis turut belajar dan merayakan Waisak sebagai bentuk edukasi budaya dan religi, sekaligus wujud penghormatan terhadap keberagaman.
Simak juga seperti apa perayaan Waisak ditengah kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi…
Pada era modern, Waisak pertama kali diperingati secara nasional di Indonesia di tahun 1953, atas inisiatif organisasi-organisasi Buddhis yang kemudian tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
Sejak saat itu, Waisak ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1983.
Candi Borobudur, yang merupakan salah satu situs Buddhis terbesar di dunia, juga menjadi pusat utama perayaan Waisak di Indonesia hingga saat ini.
Ribuan umat Buddha dari berbagai penjuru dunia akan berkumpul di sana untuk mengikuti prosesi dan puja bakti.
(BACA JUGA: Menggali Makna Halal Bihalal: Tradisi Unik Indonesia yang Mempererat Silaturahmi Pasca Lebaran)
Waisak memiliki beragam simbol yang memiliki arti tersendiri sebagai sarana menyampaikan makna spiritual dan filosofi yang mendalam. Seperti:
Lentera Waisak: Simbol pencerahan dan harapan. Ribuan lentera dilepaskan ke langit malam sebagai lambang pelepasan dari penderitaan dan kebodohan.
Air Suci: Digunakan dalam ritual Pemandian Patung Buddha (Bathing the Buddha). Melambangkan pemurnian hati dan pikiran.
Bunga Teratai (Padma): Lambang kebijaksanaan dan kesucian, karena teratai tumbuh di lumpur namun tetap bersih.
Bendera Buddhis: Lima warna bendera menggambarkan lima sinar Buddha, masing-masing memiliki arti seperti cinta kasih, kesucian, dan semangat.
(BACA JUGA: Sejarah dan Makna Opor Ayam: Hidangan Ikonik yang Wajib Ada Saat Lebaran)
Selain simbol-simbol tersebut, perayaan Waisak biasanya diisi dengan meditasi bersama, pembacaan paritta (doa), dan pelepasan satwa sebagai simbol cinta kasih pada semua makhluk.
Bagi umat Buddha, Waisak bukan sekadar perayaan, melainkan saat-saat penting yang bisa kita gunakan untuk melakukan kebajikan, contohnya:
Waisak juga menjadi waktu yang tepat untuk menguatkan tekad menjalani hidup lebih bijaksana dan berbelas kasih.
Meskipun Waisak adalah hari raya keagamaan umat Buddha, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal.
(BACA JUGA: Healing Tipis: 5 Rekomendasi Cafe Nongkrongable di Surabaya Asyik Buat Nongkrong)
Welas asih, kedamaian batin, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap kehidupan adalah ajaran yang dapat diterapkan oleh siapa pun, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang budaya.
Perayaan Waisak di Indonesia, khususnya di Candi Borobudur, kerap mengundang kehadiran pemuka lintas agama dan masyarakat umum.
Hal ini menunjukkan bahwa Waisak bukan hanya milik umat Buddha, tetapi juga milik seluruh umat manusia yang mendambakan kedamaian dan kebijaksanaan.
Bahkan, banyak sekolah dan komunitas non-Buddhis turut belajar dan merayakan Waisak sebagai bentuk edukasi budaya dan religi, sekaligus wujud penghormatan terhadap keberagaman.
Simak juga seperti apa perayaan Waisak ditengah kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi…