DB NEWS - Dalam era digital yang serba cepat ini, produktivitas telah menjadi simbol kesuksesan dan validasi diri. Namun, di balik semangat kerja keras tersebut, tersembunyi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan yaitu toxic productivity.
Tidak jarang kita melihat unggahan media sosial generasi muda yang gencar memamerkan rutinitas padat, to-do list yang panjang, atau keberhasilan bekerja hingga larut malam.
Pernahkah Anda merasa bersalah ketika sedang bersantai, meski sebenarnya Anda lelah? atau merasa gelisah saat tidak melakukan hal yang dianggap “produktif”?
Jika ya, bisa jadi Anda termasuk dalam golongan orang yang tanpa sadar bergelung dalam fenomena toxic productivity ini.
Situasi dimana mereka memiliki dorongan berlebihan untuk selalu aktif dan menghasilkan sesuatu bahkan saat tubuh dan pikiran menjerit meminta jeda.
(BACA JUGA: Belajar Langsung Digital Marketing Bareng Tim Profesional CV. DB Klik Surabaya: Begini Pengalaman Magangnya!)
Walaupun euphoria kesibukan tampak menginspirasi, nyatanya ada sisi gelap dari budaya kerja modern yang mulai menggerogoti kesehatan mental generasi muda.
Produktivitas yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan hidup kini berubah menjadi tekanan tanpa henti.
Lalu, apakah kita sedang bekerja demi cita-cita atau hanya berlari karena takut terlihat tidak berguna?
Toxic productivity adalah kondisi ketika seseorang merasa harus selalu produktif, bahkan di luar batas kewajaran.
Dalam masyarakat yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang merasa tidak nyaman ketika tidak “melakukan sesuatu”.
Akibatnya, waktu istirahat menjadi momen penuh rasa bersalah bukan penyembuhan.
Fenomena ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari contohnya mahasiswa yang merasa bersalah karena menonton film di akhir pekan, freelancer yang panik ketika tidak ada proyek masuk selama dua hari.
Hingga karyawan yang terus mengecek email dan kerjaan meski sedang cuti. Semua ini adalah tanda-tanda bahwa produktivitas telah berubah dari motivasi menjadi obsesi.
Kecenderungan ini diperparah oleh budaya hustle culture atau gaya hidup yang mengagung-agungkan kerja tanpa henti demi pencapaian materi atau pengakuan sosial.
Di balik semua itu, muncul pertanyaan penting…
DB NEWS - Dalam era digital yang serba cepat ini, produktivitas telah menjadi simbol kesuksesan dan validasi diri. Namun, di balik semangat kerja keras tersebut, tersembunyi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan yaitu toxic productivity.
Tidak jarang kita melihat unggahan media sosial generasi muda yang gencar memamerkan rutinitas padat, to-do list yang panjang, atau keberhasilan bekerja hingga larut malam.
Pernahkah Anda merasa bersalah ketika sedang bersantai, meski sebenarnya Anda lelah? atau merasa gelisah saat tidak melakukan hal yang dianggap “produktif”?
Jika ya, bisa jadi Anda termasuk dalam golongan orang yang tanpa sadar bergelung dalam fenomena toxic productivity ini.
Situasi dimana mereka memiliki dorongan berlebihan untuk selalu aktif dan menghasilkan sesuatu bahkan saat tubuh dan pikiran menjerit meminta jeda.
(BACA JUGA: Belajar Langsung Digital Marketing Bareng Tim Profesional CV. DB Klik Surabaya: Begini Pengalaman Magangnya!)
Walaupun euphoria kesibukan tampak menginspirasi, nyatanya ada sisi gelap dari budaya kerja modern yang mulai menggerogoti kesehatan mental generasi muda.
Produktivitas yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan hidup kini berubah menjadi tekanan tanpa henti.
Lalu, apakah kita sedang bekerja demi cita-cita atau hanya berlari karena takut terlihat tidak berguna?
Toxic productivity adalah kondisi ketika seseorang merasa harus selalu produktif, bahkan di luar batas kewajaran.
Dalam masyarakat yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang merasa tidak nyaman ketika tidak “melakukan sesuatu”.
Akibatnya, waktu istirahat menjadi momen penuh rasa bersalah bukan penyembuhan.
Fenomena ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari contohnya mahasiswa yang merasa bersalah karena menonton film di akhir pekan, freelancer yang panik ketika tidak ada proyek masuk selama dua hari.
Hingga karyawan yang terus mengecek email dan kerjaan meski sedang cuti. Semua ini adalah tanda-tanda bahwa produktivitas telah berubah dari motivasi menjadi obsesi.
Kecenderungan ini diperparah oleh budaya hustle culture atau gaya hidup yang mengagung-agungkan kerja tanpa henti demi pencapaian materi atau pengakuan sosial.
Di balik semua itu, muncul pertanyaan penting…