Di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: Apakah generasi muda mulai kehilangan makna hidup yang sesungguhnya?
Tidak dapat disangkal bahwa kerja keras adalah nilai yang patut dihargai. Banyak tokoh sukses menginspirasi melalui kisah perjuangan mereka yang luar biasa.
Namun, saat kerja keras berubah menjadi obsesi untuk terus-menerus mencapai sesuatu, itu menjadi pedang bermata dua.
Generasi muda terutama Gen Z dan milenial tumbuh di era yang menawarkan akses tak terbatas ke informasi dan kesuksesan orang lain.
Media sosial dipenuhi dengan pencapaian promosi jabatan, bisnis yang meroket, pagi produktif, dan rutinitas 5 AM Club.
Tampaknya seperti terlihat inspiratif, tetapi semua ini bisa menjadi sumber tekanan psikologis.
Alih-alih memotivasi, konten seperti itu justru membentuk narasi tidak sehat bahwa hidup harus selalu dikejar, tidak boleh berhenti.
Akhirnya, banyak anak muda yang bekerja bukan karena cinta atau visi melainkan karena takut tertinggal.
FOMO (Fear of Missing Out) berubah bentuk menjadi ketakutan tidak cukup produktif atau berguna.
Budaya ini secara tidak langsung menanamkan pesan bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh hasil kerja mereka dan produktivitas menjadi tolak ukur eksistensi.
Lantas, apa akibatnya dari memelihara pola pikir dan gaya hidup ini?
Salah satu dampak paling serius dari toxic productivity adalah terganggunya kesehatan mental.
Menurut penelitian International Journal of Behavioral Science (2023), toxic productivity dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelelahan kronis, kecemasan, hingga berkurangnya kualitas hidup.
Kelelahan mental (burnout) menjadi masalah umum, terutama di kalangan profesional muda dan mahasiswa.
Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan dimana semakin banyak bekerja, semakin mereka merasa kurang.
Istirahat bukan lagi bentuk perawatan diri, tapi sebuah ancaman terhadap sebuah kinerja.
Ironisnya, banyak dari mereka yang terdampak justru merasa bangga atas kesibukan mereka.
Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Aku sibuk banget akhir-akhir ini,” dengan nada bangga?
Kalimat ini mencerminkan bagaimana masyarakat mengasosiasikan nilai seseorang dengan tingkat kesibukannya, bukan keseimbangan atau kebahagiaannya.
Toxic productivity membuat kita lupa bahwa hidup bukan hanya soal hasil tapi juga soal proses.
Ketika hidup hanya berputar di sekitar pekerjaan, target, dan pencapaian, kita cenderung kehilangan makna yang lebih dalam seperti kebahagiaan, relasi manusia, dan pengembangan diri yang seimbang.
Mengubah pola pikir ini bukan perkara mudah. Kita telah lama terbiasa dengan pemikiran bahwa semakin sibuk seseorang, semakin sukses dia.
Padahal tidak semua kebiasaan produktif berdampak positif baik bagi fisik maupun mental.
Hal ini senada dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia dan Organisasi Perburuhan Internasional dengan temuan bahwa bekerja lebih dari 55 jam seminggu berisiko kematian yang lebih tinggi.
Ada perbedaan besar antara menjadi produktif dan menjadi bermakna dalam hidup.
Produktif berarti menghasilkan sesuatu, tapi bermakna berarti hidup dengan sadar dan penuh rasa syukur.
Jangan sampai obsesi untuk produktif membuat kita hanya hidup di kepala tanpa merasakan dunia di sekitar.
Mengatur ulang prioritas hidup, menyadari pentingnya istirahat, dan membangun koneksi sosial yang sehat adalah langkah awal untuk lepas dari jerat toxic productivity.
Simak halaman berikutnya untuk mengetahui solusi-solusi agar terlepas dari toxic productivity.
Di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: Apakah generasi muda mulai kehilangan makna hidup yang sesungguhnya?
Tidak dapat disangkal bahwa kerja keras adalah nilai yang patut dihargai. Banyak tokoh sukses menginspirasi melalui kisah perjuangan mereka yang luar biasa.
Namun, saat kerja keras berubah menjadi obsesi untuk terus-menerus mencapai sesuatu, itu menjadi pedang bermata dua.
Generasi muda terutama Gen Z dan milenial tumbuh di era yang menawarkan akses tak terbatas ke informasi dan kesuksesan orang lain.
Media sosial dipenuhi dengan pencapaian promosi jabatan, bisnis yang meroket, pagi produktif, dan rutinitas 5 AM Club.
Tampaknya seperti terlihat inspiratif, tetapi semua ini bisa menjadi sumber tekanan psikologis.
Alih-alih memotivasi, konten seperti itu justru membentuk narasi tidak sehat bahwa hidup harus selalu dikejar, tidak boleh berhenti.
Akhirnya, banyak anak muda yang bekerja bukan karena cinta atau visi melainkan karena takut tertinggal.
FOMO (Fear of Missing Out) berubah bentuk menjadi ketakutan tidak cukup produktif atau berguna.
Budaya ini secara tidak langsung menanamkan pesan bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh hasil kerja mereka dan produktivitas menjadi tolak ukur eksistensi.
Lantas, apa akibatnya dari memelihara pola pikir dan gaya hidup ini?
Salah satu dampak paling serius dari toxic productivity adalah terganggunya kesehatan mental.
Menurut penelitian International Journal of Behavioral Science (2023), toxic productivity dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelelahan kronis, kecemasan, hingga berkurangnya kualitas hidup.
Kelelahan mental (burnout) menjadi masalah umum, terutama di kalangan profesional muda dan mahasiswa.
Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan dimana semakin banyak bekerja, semakin mereka merasa kurang.
Istirahat bukan lagi bentuk perawatan diri, tapi sebuah ancaman terhadap sebuah kinerja.
Ironisnya, banyak dari mereka yang terdampak justru merasa bangga atas kesibukan mereka.
Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Aku sibuk banget akhir-akhir ini,” dengan nada bangga?
Kalimat ini mencerminkan bagaimana masyarakat mengasosiasikan nilai seseorang dengan tingkat kesibukannya, bukan keseimbangan atau kebahagiaannya.
Toxic productivity membuat kita lupa bahwa hidup bukan hanya soal hasil tapi juga soal proses.
Ketika hidup hanya berputar di sekitar pekerjaan, target, dan pencapaian, kita cenderung kehilangan makna yang lebih dalam seperti kebahagiaan, relasi manusia, dan pengembangan diri yang seimbang.
Mengubah pola pikir ini bukan perkara mudah. Kita telah lama terbiasa dengan pemikiran bahwa semakin sibuk seseorang, semakin sukses dia.
Padahal tidak semua kebiasaan produktif berdampak positif baik bagi fisik maupun mental.
Hal ini senada dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia dan Organisasi Perburuhan Internasional dengan temuan bahwa bekerja lebih dari 55 jam seminggu berisiko kematian yang lebih tinggi.
Ada perbedaan besar antara menjadi produktif dan menjadi bermakna dalam hidup.
Produktif berarti menghasilkan sesuatu, tapi bermakna berarti hidup dengan sadar dan penuh rasa syukur.
Jangan sampai obsesi untuk produktif membuat kita hanya hidup di kepala tanpa merasakan dunia di sekitar.
Mengatur ulang prioritas hidup, menyadari pentingnya istirahat, dan membangun koneksi sosial yang sehat adalah langkah awal untuk lepas dari jerat toxic productivity.
Simak halaman berikutnya untuk mengetahui solusi-solusi agar terlepas dari toxic productivity.