Balai TNKM menyatakan bahwa rekaman menunjukkan seekor kucing merah dewasa yang berjalan cepat di atas batang kayu tumbang.
Kamera jebak yang digunakan berhasil menangkap momen ini dalam upaya inventarisasi potensi kawasan.
Namun sejauh ini, belum ada informasi pasti tentang jumlah populasi satwa ini di TNKM, mengingat pemantauan sebelumnya yang gagal ditemukan pada tahun 2021 dan 2022.
Temuan ini menggambarkan betapa sulitnya mendeteksi keberadaan kucing merah dan menunjukkan pentingnya teknologi seperti kamera jebak untuk konservasi spesies langka.
Menurut IUCN, meskipun ada peningkatan rekaman visual, kucing merah masih sangat jarang terlihat dibandingkan kucing liar lain seperti macan dahan.
(BACA JUGA: Bahaya Junk Food: Ini Dampak Kesehatan Jangka Panjang yang Perlu Kamu Ketahui)
Diperkirakan hanya ada satu individu kucing merah per 100 kilometer persegi, dengan total populasi dewasa kurang dari 2.200 ekor.
Kucing merah sangat tergantung pada hutan primer dan tidak bisa bertahan di lingkungan terbuka seperti perkebunan atau savana.
Sayangnya, deforestasi di Kalimantan masih menjadi ancaman besar bagi habitatnya.
Dengan luas kawasan mencapai 1,27 juta hektare, TNKM menjadi habitat krusial bagi satwa ini.
Balai TNKM berencana memperluas jaringan kamera jebak dan bekerja sama dengan akademisi serta lembaga konservasi untuk memperoleh data yang lebih akurat dan menyusun strategi perlindungan jangka panjang.
Penemuan ini bukan sekadar berita menarik, tapi juga pengingat kuat akan betapa kayanya keanekaragaman hayati Indonesia dan betapa daruratnya situasi pelestariannya.
Kini, harapan baru muncul agar Kucing merah Kalimantan, si pemalu dari hutan Borneo, tetap bisa hidup di habitat aslinya.
Semua pihak, baik pemerintah, peneliti, dan masyarakat, mempunyai punya peran penting untuk memastikan spesies langka ini tidak kembali menghilang dari radar konservasi.
Terlebih lagi, Penemuan ini tidak hanya menandai harapan baru bagi pelestarian spesies endemik, tetapi juga mempertegas pentingnya perlindungan ekosistem hutan hujan tropis yang terus terancam oleh alih fungsi lahan.
(BACA JUGA: Varian Baru COVID-19 Melanda Asia! Ini Respons Cepat Kemenkes RI Cegah Gelombang Baru)
Keberlanjutan upaya konservasi harus menjadi prioritas bersama demi menjaga keanekaragaman hayati yang dimiliki Borneo.
Ikuti terus perkembangan seputar konservasi satwa langka dan berita lingkungan lainnya hanya di DB News. (*)
Balai TNKM menyatakan bahwa rekaman menunjukkan seekor kucing merah dewasa yang berjalan cepat di atas batang kayu tumbang.
Kamera jebak yang digunakan berhasil menangkap momen ini dalam upaya inventarisasi potensi kawasan.
Namun sejauh ini, belum ada informasi pasti tentang jumlah populasi satwa ini di TNKM, mengingat pemantauan sebelumnya yang gagal ditemukan pada tahun 2021 dan 2022.
Temuan ini menggambarkan betapa sulitnya mendeteksi keberadaan kucing merah dan menunjukkan pentingnya teknologi seperti kamera jebak untuk konservasi spesies langka.
Menurut IUCN, meskipun ada peningkatan rekaman visual, kucing merah masih sangat jarang terlihat dibandingkan kucing liar lain seperti macan dahan.
(BACA JUGA: Bahaya Junk Food: Ini Dampak Kesehatan Jangka Panjang yang Perlu Kamu Ketahui)
Diperkirakan hanya ada satu individu kucing merah per 100 kilometer persegi, dengan total populasi dewasa kurang dari 2.200 ekor.
Kucing merah sangat tergantung pada hutan primer dan tidak bisa bertahan di lingkungan terbuka seperti perkebunan atau savana.
Sayangnya, deforestasi di Kalimantan masih menjadi ancaman besar bagi habitatnya.
Dengan luas kawasan mencapai 1,27 juta hektare, TNKM menjadi habitat krusial bagi satwa ini.
Balai TNKM berencana memperluas jaringan kamera jebak dan bekerja sama dengan akademisi serta lembaga konservasi untuk memperoleh data yang lebih akurat dan menyusun strategi perlindungan jangka panjang.
Penemuan ini bukan sekadar berita menarik, tapi juga pengingat kuat akan betapa kayanya keanekaragaman hayati Indonesia dan betapa daruratnya situasi pelestariannya.
Kini, harapan baru muncul agar Kucing merah Kalimantan, si pemalu dari hutan Borneo, tetap bisa hidup di habitat aslinya.
Semua pihak, baik pemerintah, peneliti, dan masyarakat, mempunyai punya peran penting untuk memastikan spesies langka ini tidak kembali menghilang dari radar konservasi.
Terlebih lagi, Penemuan ini tidak hanya menandai harapan baru bagi pelestarian spesies endemik, tetapi juga mempertegas pentingnya perlindungan ekosistem hutan hujan tropis yang terus terancam oleh alih fungsi lahan.
(BACA JUGA: Varian Baru COVID-19 Melanda Asia! Ini Respons Cepat Kemenkes RI Cegah Gelombang Baru)
Keberlanjutan upaya konservasi harus menjadi prioritas bersama demi menjaga keanekaragaman hayati yang dimiliki Borneo.
Ikuti terus perkembangan seputar konservasi satwa langka dan berita lingkungan lainnya hanya di DB News. (*)